Ajaran Hikmah Muta’aliyyah Mulla Sadra : Antara Filsafat dan Ilmu Kalam
Oleh Prio Pratama*
Seseorang yang hendak terhubung dengan dunia
ilahi, seperti halnya para Nabi, menurut Sadra, haruslah dilengkapi
dengan atribut-atribut tertentu. Di antaranya memiliki kecerdasan
teoritis yang paripurna (kamâl al quwwah al nazâriyyah), sempurna daya
imajinatifnya (kamâl al quwwah al khayâliyyah), dan aktualnya potensi
kejiwaannya lewat praktikum-praktikum tertentu seperti bertapa,
merenung, atau olah kejiwaan lainnya (quwwat al nafs min juz’ihâ al
‘amaly). Bagi sadra lebih jauh, meskipun kenabian memang harus terputus
karena tidak ada nabi lagi setelah Muhammad, tapi dia meyakini adanya
kenabian yang bersifat parsial (partial prophecy) yaitu tanggung jawab
kenabian yang diwarisi oleh para imam yang terus tersambung.
Dalam bidang teologi Islam, perdebatan mengenai topik-topik tertentu diakui memang mengalami kebuntuan paska al Ghazali. Beruntung, melalui karya-karya Mulla Sadra, horizon baru perdebatan teologi mulai kelihatan geliatnya. Namun demikian, perdebatan teologi kali ini memang memiliki warna yang agak berbeda dari perdebatan-perdebatan semasa Islam klasik. Pasalnya, buku al Ma’ad karangan Sadra yang bisa dibilang sebagai pelopor pembaruan teologi Islam tidak hanya memuat hal-hal yang berkaitan langsung dengan teologi saja, tapi juga memuat penjelasan-penjelasan yang, sebagaimana terbaca di dalamnya, lebih terkesan filosofis daripada kalamis. Oleh karena itu, kita tidak bisa serta merta membatasi Sadra sebagai teolog saja. Lebih dari itu, ia adalah sintesis baru antara yang rasional dan yang iluminatif (Isyraqi).
Demikian kurang lebih pandangan Novriantoni Kahar ketika mengantar jama’ah membuka Tadarus Ramadlan JIL sesi terakhir, 1433 H. Tadarus yang diselenggarakan 7 Agustus 2012 ini, fokus membicarakan aspek teologis dari ajaran Mulla Sadra. Malja Abrar, selaku moderator Tadarus, mencoba mengingatkan Jama’ah bahwa ketika membicarakan Filsafat Islam, tidak akan lengkap tanpa menyingung teologi juga ushul fiqh.
Di sini, Sadra memiliki kontribusi besar dalam perkembangan filsafat Islam paska al Kindi dan Ibn Rushd. Pasalnya, setelah kedua tokoh tersebut, kita tidak melihat lagi dinamika filsafat dan juga teologi Islam, selain dari Sadra. Ajaran Filsafat Sadra yang jamak dikenal dengan al Hikmah al Muta’aliyyah, sebagaimana telah dikupas dalam sesi tadarus 1&2, sejatinya adalah sintesa antara pemikiran-pemikiran yang mengada selama rentang waktu yang panjang; yaitu dari aliran pemikiran al Masyâ‘iyyah (Peripatetic), Isyrâqy (iluminatif) dan ilmu kalam.
Moderator membagi tujuh aspek diskursus ilmu kalam dengan porsi 4:3. Empat isu ilmu kalam pertama terdiri dari wujud Tuhan, keesaan Tuhan, atribut Tuhan dan kebangkitan. Melalui dua nara Sumber yang ada, yaitu Muhammad Baqir dan Novriantoni Kahar, empat hal tersebut ia amanatkan untuk menjadi pembahasan utama. Sedangkan soal tindakan manusia, keadilan Tuhan dan Kenabian menjadi tanggung jawab kedua para pembicara tersebut.
Forum tadarus ramadlan kemudian diambil alih Novriantoni Kahar. Ketika menjelaskan soal tindakan manusia dalam pandangan Mulla Sadra, dosen Universitas Paramadina tersebut mengategorikan Sadra sebagai orang yang agak condong kepada mazhab predestinasi yang mirip Asy’ariyyah. Bagi Novri, jika menarik akar persoalannya, debat perihal tindakan manusia dalam teologi Islam sebetulnya berawal dari persoalan politik yang diteologisasi. Tegasnya, isu ini berawal dari pertanyaan apakah kebejatan rezim yang berkuasa itu karena Tuhan ataukah karena manusianya sendiri. Persoalan ini, begitu Novri menjelaskan, tentu ada konsekuensi politiknya. Kelompok yang mempercayai kebejatan penguasa merupakan bagian dari kehendak Tuhan, misalnya, akan serta merta bersikap pasrah atau ‘nerimo’. Ini tentu berbanding terbalik dengan kelompok yang satunya lagi, kelompok qadariah. Beda dengan pendukung mazhab predestinasi atau jabariah, kaum qadariah menghendaki adanya desakralisasi tindakan manusia. Sebagaimana Asyariyyah dalam persoalan ini, Mulla Sadra, menurut Novri, mencoba menengah-nengahi antara keduanya, meskipun nantinya ia tetap tidak bisa keluar dari kecenderungan predestinasi. Kata Sadra, tindakan manusia itu ada dalam posisi ‘al wasath bain al amrayn’.
Bagi Novri, meskipun Sadra memang memberi banyak penjelasan dalam soal ini, namun masih menyisakan beberapa pertanyaan di sana. Ketika menjelaskan soal tindakan manusia, misalnya, Sadra mengatakan bahwa manusia tidak sepenuhnya bebas. Lebih dari itu, jiwa manusia tetap dikontrol dalam batas-batas kekuasaan Tuhan. Tegasnya, manusia memang bebas bertindak, tapi tindakannya itu tetap dibatasi oleh ketentuan Tuhan. Sadra melihat bahwa inti dari perdebatan Mu’tazilah dan Asy’ary adalah satu; yakni sementara orang-orang Mu’tazilah mencoba melihat pada sebab terdekatnya, kelompok predestinasi yang diwakili Asya’ari berusaha melihat tindakan manusia dari sebab terjauhnya, summa causa-nya.
Kemudian mengenai perdebatan isu kalam ilahi yang dalam periode klasik dulu sempat mengalami inkuisisi, Novri mencoba menjelaskan jalan pikir Sadra dengan mengutip sarjana progresif kenamaan Nasr Hamid Abu Zayd. Katanya, kemenangan mazhab predestinasi atas mazhab qadary di era klasik Islam, sejatinya bukan kemenangan wacana, melainkan kemenangan politis akibat gagalnya kaum Mu’tazilah melakukan sapu bersih ideologi. Kalau dulu perdebatan ini sempat buntu, menurut Novri, Sadra berkontribusi kembali menyegarkan perdebatan tersebut melalui ide barunya yang membagi kalam dalam beberapa kategori. Ia juga membuat dua definisi yang berbeda atas apa yang disebut ‘kalam Tuhan’; yakni kalam yang sifatnya sekali jadi dan yang berbentuk mushaf. Kalam Tuhan dalam pengertian tersebut pertama, menurut Sadra, adalah yang paling tinggi tingakatannya. Demikian, karena ia eksis di alam amri; alam perintah. Ketika itu, kata Sadra, Tuhan hanya memberi titah yang tak bisa disanggah. Konsekuensi menyanggah kalam jenis ini, menurut Sadra, membuat makhluk menjadi Iblis yang diberi mandat menggoda manusia. Kalam jenis lainnya, menurut Sadra adalah ‘kalam tasyriqy’. Kalam kategori ini baru berupa titah-titah Tuhan yang diturunkan di alam Khalqiy, yakni alam penciptaan. Dalam pada itu, kalam tersebut sudah masuk ruang dan waktu, karenanya ia mesti disebut ‘al hadits’ (hal baru, ciptaan). Konsekuensinya, Kalam jenis terakhir ini, begitu Sadra, bukan hanya bisa dita’ati, tapi juga bisa disanggah.
Menyinggung masalah kebangkitan di akhirat, yaitu persoalan tentang apakah yang dibangkitkan di akhirat nanti jiwa manusia, ataukah raganya. Bagi para filsuf muslim yang berpendirian bahwa yang immortal hanya jiwa manusia, pertanyaan besar yang mereka ajukan adalah tentang bagaimana caranya Tuhan mengembalikan sesuatu yang telah sirna (I’âdat al ma’dûm). Persoalannya, keyakinan para filsuf tersebut nantinya akan terbentur dengan banyak ayat al Qur’an dan juga hadis Nabi yang menggambarkan bahwa kebangkitan di akhirat nanti sangat berwatak ragawi atau fisikal. Dilemma ini juga dialami tidak terkecuali Mulla Sadra. Karena itu, Sadra berimprovisasi dengan berpendapat bahwa jiwa manusia memang memiliki hubungan yang bersifat elementer dengan raganya, di mana persenyawaan keduanya berlangsung secara natural, tak terpisahkan, dan direkatkan dengan gerak transubtantif yang sama. Novri melihat pandangan Sadra ini ada kemiripan dengan teori evolusi.
Lebih jauh, Novri menegaskan, Sadra memang berpendapat bahwa yang bangkit di akhirat nanti adalah jasad manusia. Namun begitu, yang dimaksud dengan ‘jasad’ di sini bukanlah jasad yang terbentuk dari unsur material, tapi forma dari jasad itu sendiri. Bagi Sadra, fulan tetaplah menjadi si fulan meskipun raganya telah sirna. Lebih jauh Sadra menjelaskan, raga materi tidaklah bersifat substansial; yaitu dia bisa berganti-ganti dan sementara jiwa tidak bisa sirna dengan formanya. Sadra meyakini akidah ini sebagai yang benar dalam soal kebangkitan.
Beralih ke persoalan syariat, kenabian dan wahyu, Novri mengutip pandangan filsuf rasionalis seperti Ibn Rushd yang melihat persoalan tersebut sebagai yang tidak menyalahi kerja akal. Tegasnya, memang masuk akal jika Tuhan, atas dasar kasih-Nya kepada manusia, mengutus Nabi-Nabi kepada umat manusia. Dalam soal mu’jizat yang diberikan Tuhan kepada Nabi-Nabi tersebut, Sadra, menurut Novri, melihat bahwa yang terpenting dari bagan ini adalah bagaimana mereka menghadirkan ajaran-ajaran yang salih bagi umat manusia (al Ityân bi al Syarî‘at al Sâlihah), dan bukan dari segi mu’jizat yang tak ada kaitannya dengan risalah. Sadra memang tidak terlalu ekstensif membahas masalah mukjizat dan lebih fokus pada persoalan fungsi nabi di masyarakat, yaitu bagaimana mereka memprakarsai terbentuknya al madînah al fâdlilah.
Seseorang yang hendak terhubung dengan dunia ilahi, seperti halnya para Nabi, menurut Sadra, haruslah dilengkapi dengan atribut-atribut tertentu. Di antaranya memiliki kecerdasan teoritis yang paripurna (kamâl al quwwah al nazâriyyah), sempurna daya imajinatifnya (kamâl al quwwah al khayâliyyah), dan aktualnya potensi kejiwaannya lewat praktikum-praktikum tertentu seperti bertapa, merenung, atau olah kejiwaan lainnya (quwwat al nafs min juz’ihâ al ‘amaly). Bagi sadra lebih jauh, meskipun kenabian memang harus terputus karena tidak ada nabi lagi setelah Muhammad, tapi dia meyakini adanya kenabian yang bersifat parsial (partial prophecy) yaitu tanggung jawab kenabian yang diwarisi oleh para imam yang terus tersambung. Karena pada prinsipnya, begitu Sadra, Tuhan tidak akan tega melihat umat manusia terlunta-lunta tanpa bimbingannya. Terkait tugas kenabian ini, Novri mengutip pandangan Majid fakhri yang menggambarkan dua konsep tanzil dan ta’wil. Tanzil adalah suatu proses di mana Tuhan menurunkan kearifan dan kebijaksanaan ke bawah seperti menurunkan wahyu kepada nabi-nabi. Sementara ta’wil adalah proses mendaki, yaitu di mana orang-orang tertentu mencari kearifan melalui pendekatan diri kepada Tuhan. Nah, orang-orang yang tersebut terakhir itulah yang memegang status kenabian parsial, yaitu mereka memberikan kontrol moral dan spiritual masyarakat di dunia fana ini.
Menutup penjelasannya, Novri mengutip pandangan Sayyed Hosein Nasr yang melihat banyak kontribusi baru dalam bidang kalam yang diberikan Sadra. Dengan karakter penjelasan teologi Sadra yang cenderung filosofis, pembicaraan kalam di kalangan Syiah, misalnya, tidak lagi diminati. Sebagai gantinya, mereka lebih suka mempelajari filsafat Sadra sekaligus, dengan anggapan karena ia sudah mencakup ilmu kalam di dalamnya. Di kalangan Sunni sendiri, menurut Novri, kontribusi Sadra adalah membuat perdebatan kalam yang telah buntu berabad-abad bangkit kembali dengan nuansa yang lebih filosofis.
Sementara itu, Baqir memulai penjelasannya dengan berangkat dari konfirmasi atas beberapa istilah kunci. Setelah istilah-istilah tersebut jelas, baru kemudian ia beralih kepada pertanyaan apakah ajaran Sadra itu bisa dikategorikan filsafat atau bukan. Dalam tradisi peripatetic, demikian Baqir menjelaskan, terma ‘hikmah’ memang diartikan sebagai filsafat. Namun begitu, oleh Sadra istilah tersebut diberi penyifatan dengan kata ‘masyraqiyyah’ dengan maksud untuk mengurangi nuansa peripatetisnya. Upaya mengurangi kadar nalarisme yang terlanjur melekat dalam istilah ‘hikmah’ sebetulnya pernah digagas oleh Ibn Sina sebelumnya.
Kata kunci berikutnya yang ingin dikonfirmasi Baqir adalah ‘teologi’. Baqir mengkritik kebiasaan kita dalam menerjemahkan ‘teologi’ dengan ilmu kalam. Kalam, begitu Baqir menjelaskan, tidak tepat disandingkan dengan kata ‘ilmu’. Bagi Baqir pribadi, kalam sejatinya bukan ilmu, melainkan keterampilan saja atau skill yang digunakan suatu kelompok tertentu untuk berdebat membela keyakinan yang dipercayainya. Baqir berargumen; dari awal kemunculannya, kalam memang tidak pernah menjadi suatu disiplin ilmu dengan struktur yang jelas. Kalam, kata Baqir, sebetulnya muncul dari perdebatan-perdebatan atas isu-isu tertentu yang kemudian diformulasi. Tegasnya, Kalam pada mulanya hadir dari pendapat-pendapat individual, yang pula diperkuat oleh argumen-argumen individual, tapi kemudian dibenarkan oleh komunitas dan didukung dan diformulasi. Baru setelah tradisi filsafat mulai diadopsi dalam peradaban Islam, struktur yang jelas dan teratur, seperti laiknya disiplin ilmu lainnya, pelan-pelan mulai diterapkan dalam kalam; seperti adanya masâ‘il (discourse), mabâdi’ (foundation), dan maudu’ (object). Semua yang tadi disebutkan, di satu sisi boleh dibilang sebagai keuntungan yang diperoleh Kalam dari filsafat. Di sisi lain, penetrasi filsafat ke dalam kalam ternyata juga menimbulkan sejumlah kerugian. Di antaranya, Kalam jadi kehilangan identitasnya. Dengan kata lain, karakteristik spesifik yang semula sangat jelas dibedakan antara mana filsafat dan mana kalam sekarang sudah tidak lagi kentara; jenis kelamin Kalam yang baru menjadi tidak jelas. Dalam istilah Baqir, apakah ia sekarang ‘Kalâmun Falsafiyyun’ ataukah ‘Falsafah Kalâmiyyah’. Pada akhirnya, Baqir sampai pada kesimpulan bahwa Kalam, dalam pengertian seperti yang ada pada zaman klasik, memang sudah tidak eksis lagi (the death of Kalam).
Kerugian akibat penetrasi filsafat ke dalam kalam, menurut Baqir, paling terasa pada periode-periode belakangan ini, yaitu pada era di mana muncul apa yang sering disebut orang sebagai ‘Kalam Jadid’.
Berawal dari isu-isu kontemporer yang dihadapi umat muslim, seperti isu gender, liberalisme dan sebagainya, para mutakallimun ditantang untuk merespon dan mencari jawabannya melalui perspektif wahyu. Bagi Baqir, ketika berhadapan dengan isu-isu tersebut, mau tidak mau mutakallimun dihadapkan pada dua pilihan; entah mereka menjadi konsumtif dengan memakai argumen-argumen dari disiplin ilmu lain yang dengan demikian makin mengikis identitas mereka sendiri, ataukah bertahan dengan cara lama yang dengan demikian menjadi tidak produktif lagi. Nah, dari sudut pengertian ini, Baqir berkesimpulan bahwa Sadra bukanlah seorang mutakallim.
Dari segi esensi ajaran Mulla Sadra, Baqir memandang bahwa itu juga tidak bisa disebut filsafat. Lebih dari itu, Baqir lebih suka menyebut ajaran Sadra sebagai hikmah atau wisdom. Hikmah di sini mesti dipahami dalam perspektif tasauf yang epistemologinya berbeda dengan filsafat. Hikmah dalam tasauf sumbernya adalah ‘hudlury’ atau penyingkapan (al kasyf). Ini tentu berbeda dengan pengertian hikmah dari segi filsafat yang sumbernya adalah penalaran. Dalam hal ini, Baqir melihat ajaran Mulla Sadra lebih cocok dengan yang tersebut pertama ketimbang yang terakhir. Kesalahan serupa dalam menempatkan posisi seorang tokoh, menurut Baqir, juga pernah dilakukan orang terhadap Ibnu Arabi. Sama seperti halnya Mulla Sadra, Ibnu Arabi juga bukan seorang filsuf, melainkan seorang sufi. Baqir juga menolak jika ajaran Sadra disebut sebagai sintesa antara filsafat dan kalam, istilah yang paling tepat untuk menyebut ajaran Sadra adalah sebagai ‘Irfan. Jika orang bertanya mengapa dalam ajaran Sadra kita bisa menemukan kutipan-kutipan ilmu kalam dan filsafat, maka bagi Baqir hal ini adalah amat wajar. Alasannya, Baqir melihat Sadra hendak menuntun pembacanya setahap demi setahap. Karena ilmu kalam paling mudah dicerna, maka Sadra memulai penjelasannya dari situ. Baru kemudian dalam tahap berikutnya ia mengcounter permasalahan dalam bahasa filsafat yang lebih rumit, dan pada akhirnya dengan bahasa ‘Irfan.
Beranjak ke persoalan wujud, menurut Baqir, Sadra membagi wujud hanya ke dalam dua kategori yakni wajib al wujud dan mumkin al wujud. Kategori Sadra ini tentu sedikit berbeda jika dibandingkan dengan kategori Ibnu Sina misalnya, yang memberi satu lagi kategori “mumtani’ al wujud”. Namun begitu, seperti laiknya para sufi, Sadra pada akhirnya melihat hanya ada satu wujud secara esensial, yakni wajib al wujud. Demikian, karena mumkin al wujud sejatinya adalah tidak benar-benar wujud. Jika masuk ke dalam bagian filsafat yang membahas ilmu ketuhanan, di sana ada perdebatan apakah wajib al wujud bisa diketahui (knowable), tidak diketahui (unknown), ataukah tidak mungkin diketahui (unknowable). Dari segi ini, Sadra menilai bahwa wajib al wujud adalah tidak mungkin diketahui, baik secara konsep (ushuli), dan tidak juga secara syuhudy atau hudlury.
Baqir melihat bahwa dalam menjelaskan wujud dan ketuhanan, Sadra lebih memilih untuk memulainya dari isu-isu yang paling fundamental, bukan yang sekunder. Ketika menjelaskan wajib al wujud misalnya, Sadra memilih menggunakan premis yang bertolak dari sebab ke efek, dan bukan sebaliknya. Demikian, karena Sadra melihat bahwa premis ini berwatak self evident (terang dengan sendirinya) sekaligus yaqiny (memberi kepastian). Namun begitu, persoalannya sekarang adalah wajib al wujud, sebagai suatu sebab sendiri, belum jelas identitasnya. Terlebih, jika diasumsikan bahwa sesuatu di luar keberadaan adalah tidak ada, maka ini berarti kita mengalami kebuntuan untuk menjelaskan wajib al wujud. Oleh karena itu, Sadra melihat bahwa kita tidak bisa membuktikan Tuhan hanya dengan burhan (sebatas penalaran). Hakikat dalam pandangan Sadra sejatinya merupakan isyarat yang tidak mungkin didefinisikan, dan hanya bisa ditunjuk saja.
Terakhir, terkait persoalan hari akhir (ma’ad), Baqir menolak jika Sadra disebut sebagai bagian dari kategori kelompok penganut ma’ad jasmani. Lebih jauh, Baqir menjelaskan bahwa Sadra memiliki tiga konsep kosmologi; yakni alam jabarrut (alam fisik), mitsaliyyah (intelektual), dan barzakh. Dari ketiga alam tersebut, Sadra melihat bahwa tubuh menempati alam fisik dan alam barzakhy. Badan yang ada dalam barzakhy dalam pandangan Sadra dapat dianalogikan dengan cermin dan imajinasi kita dalam mimpi. Walaupun ia memang tidak bermateri dan tidak mengambil ruang, namun ia tetap memiliki karakter-karakter materi. Singkatnya, ia berbentuk fisik, tapi sejatinya tetap non fisik; substansinya spiritual atau immaterial tapi karakternya material. Sadra dalam hal ini meyakini bahwa jasad yang dibangkitkan nanti di hari akhir adalah jasad barzakhi tersebut, yang bukan dalam bentuk fisik, tapi dalam bentuk identitas.
Wallahu A’lam bi al Sawwab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar